Jatuh Lebih Dalam

 


Di pagi hari yang sejuk, sejuk sekali.

Terdengar rintikan gerimis kecil turun dari dahan ke tanah dan bebatuan hasil hujan deras semalam. Rintikannya sesekali membuat mataku terhinggap rasa kantuk, membuatku berkeinginan melanjutkan mimpi di tidurku yang kuharap aku bisa menemuimu disitu.

Kulihat gawaiku, melihat dan memvalidasi bagaimana kabarmu. 

Kutanya dalam hati, bagaimana kabarmu pagi hari yang indah ini?

Ah, bodoh sekali aku bertanya mengenai hal itu. Cukup tak perlu bertanya pun aku sudah tahu bagaimana kabarmu melalui linimasa atau kicauanmu. Selepasku lipat selimut yang menghangatkanku semalam -- yang kuharap terganti oleh kehangatanmu di masa depan.

Aku sudah mengerti bahkan sudah hafal terhadap kebiasaanku yang seringkali mengaktifkan notifikasi khusus demi melihat kicauanmu. Bahkan aku rela dan tak apa ketinggalan waktu sarapan roti tawar rasa pandanku yang kupadukan dengan susu. Atau aku harus tertinggal jadwal sarapanku dengan penjual bubur ayam depan taman pendidikan. Seperti itulah demi aku dapat mengetahui kabarmu terlebih dahulu. 

Karena aku tahu, kamu tak bisa lepas dari gawaianmu untuk mencuit sesuatu, mengatakan dan mengabadikan perasaan yang jujur dan terpendam darimu, menginginkan orang lain tahu apa yang kamu mau. Oh maafkan aku, aku tahu kamu tak bermaksud seperti itu. Hanya saja, secara tidak langsung aku bisa mengetahui pola kebiasaan dan masalah yang kamu alami saat itu.

Barangkali saat kamu menyusuri dan berjalan-jalan santai sambil bersiul-siul si media sosial milikmu, seperti saat kamu bertamasya sendirian melihat bangunan-bangunan kuno dan mengesankan, disekitarnya banyak interaksi manusia antar manusia, binatang antar binatang, dan alam antar alam, bahkan dikatakan seluruh mahkluk dengan spiritualitasnya. Di dalam bangunan kuno-kuno itu, bahkan terdapat bangunan -bangunan baru yang berisi beberapa reporter sekaligus wartawan; pemberi informasi sekaligus pemberi kritik, namun tak lupa juga si tak pemberi. Di antara bangunan-bangunan tersebut barangkali terdapat yang kamu sukai, seperti misalnya bangunan berisi es krim warna-warni dengan gelato dan topping chocochips menempel diatas seraya menggodamu untuk turut mencicipi setelah kamu bertamasya. 

Terkadang pula disaat kamu sedang berjalan sendirian, kamu tak sengaja atau mungkin barangkali sudah mengajukan perjanjian sebelumnya, kamu bertemu dengan beberapa temanmu. Entah memberi informasi atau ingin dimengerti. Kamu bisa sangat asyik mengobrol diantara bangunan-bangunan itu.

Barangkali pula, diantara bangunan-bangunan itu, jika kamu temukan terdapat gambarku dan beberapa tulisanku terpajang di dalamnya, kamu baca dengan seksama dan kamu sadar bahwa suatu kata-kata tersebut adalah membicarakan tentangmu maka kujamin kamu hanya tersenyum perlahan dan tertawa kecil di dalam hati betapa anehnya diriku yang hanya dapat mengungkapkan perasaan melalui kata tak bermutu.

Baiklah, kata-kata disini adalah menceritakan sekaligus mengingat ulang kejadian perkenalan kemarin selasa. Apa kamu mengingatnya?

Perkenalan yang sangat singkat itu karena kita hanya saling bertukar nama. Kamu memberikan namamu kepadaku begitupun aku. Kita terkadang tertawa bersama saat saling menceritakan asal-muasal kita berpijak, begitupun aku yang terkadang dibuat riang terkekeh saat satu diantara kita atau keduanya melontarkan guyonan dan percikan kecil hal yang patut diriangkan. Tentu saja kita tidak sedang berduaan. Ada aku yang senang melihatmu, kamu, dan beberapa teman di sekitaran. 

Selepas itupun kisah kita berkenalan tak kalah seru, aku duduk di depanmu yang entah karena kebetulan dua kursi sepakat dalam diskusinya mempertemukan kita. Secara jelas aku dapat melihat kerutan di tepian sudut matamu saat kamu tersenyum dengan pipi yang membentuk bulat di bawah kelopak mata sayumu, sepertinya kamu seringkali begadang dan tidak tidur malam. Atau saat aku begitu senang melihatmu yang terkadang membulatkan mata saat kamu tak paham dan mengerti terhadap apa yang kita dan teman-teman bicarakan. Oh atau saat kamu menggigit sebagian bibirmu menggunakan gigi depan atas, terlihat lebih menggemaskan kamu begitu akibat tak dapat menjawab beberapa ejekan-ejekan kecil yang aku lontarkan.

Apa kamu tahu apa yang aku takutkan saat aku harus duduk berhadapan? Mungkin kursi dan meja tak mendiskusikan hal ini terlebih dahulu, sudah pasti selepas pertemuan kita kursi dan meja kena evaluasi besar-besaran oleh ketua ruang.

Saat kita berhadapan, saling bertukar informasi wajah, kuharap kamu bukan tipikal orang yang dapat membaca wajah. Namun, seseorang yang bodoh pun sebenarnya dapat membaca raut wajah seseorang. Hal tersebut merupakan sifat alami karena manusia punya perasaan, perasaan menuntun manusia ke kepekaan. Saat itu, kutakut kamu peka terhadap keadaan informasi dan kamu dapat menerjamahkannya ke dalam kamus bahasamu sendiri. 

Aku khawatir, perasaan yang aku pegang erat-erat di lubuk dalam tubuh secara tiba-tiba menguap ke udara sebagian, menghilang bersama beberapa debu kecil. Seperti saat aku mengenggam kunang-kunang di malam yang gelap, hanya disinari oleh rembulan dan bintang Venus yang turut menemani bulan dibegadangnya. Saat kamu dapat melihat cahaya kunang-kunang yang berkelap-kelip di sela-sela jariku, aku tak bisa mengatakan padamu bahwa apa yang aku genggam bukanlah kunang-kunang, kamu pun sudah pasti tahu jika itu adalah kunang-kunang yang ada dalam genggaman. Aku tak bisa mengenggam lebih erat untuk mematikan cahayanya, hal itu hanya membuat kunang-kunang mati tak berdaya dan menjadi mayat, tak berguna dan pasti nantinya aku buang. Karena aku tak terus terang menjawab apa yang ada di dalam genggaman, membuat sela-sela jariku berkeringat gugup, mengalirlah keringat yang membuat sela-sela jariku secara otomatis dan perintah otak untuk sedikit membuka agar tidak merasa gerah. Disaat itulah kesempatan kunang-kunang untuk terbang melalui sela-sela jari, terbang ke atas mengarah ke bulan, lalu menghilang secara perlahan dengan meninggalkan kemerlip cahayanya. Hal itu terjadi hanya jika kamu dapat melihat cahayanya.

Sama seperti saat kini aku duduk berhadapan, aku begitu khawatir apabila kamu berhasil melihat cahayanya yang terpancar dari binar wajahku. Begitu terlihat, aku tak begitu pandai menyimpan rasa meskipun aku sudah belajar mencintaimu dalam diam. Perasaan atau aroma-aroma perasaan ketertarikanku padamu sudah pasti akan tercium di hidungmu suatu saat nanti yang kini pun hanya berjarak beberapa jengkal dariku. Aku tak menginginkannya sekarang meskipun aku tetap mengharapkan jarak hidung nol centi suatu saat nantiagar kamu dapat lebih mengerti bagaimana aromanya rasa ini.

Meski hanya sesaat dan tak harus memandangmu setiap waktu dan kata, aku dapat langsung mengerti dan sedikit memahami hal-hal kecil yang menjadi kebiasaan serta identitasmu. Hal-hal kecil inilah yang tak lekang dari pikiran kepala. Aku rasa, otakku kini sudah membuatkan etalase lemari yang di desain khusus dari pohon jati kualitas terbaik, dicat dan diolesi dengan pelapis anti jamur. Begitu indah dengan beberapa aksesori kaca dan akrilik serta beberapa tempelan manik-manik yang bertabur di beberapa sudut etalase. Begitulah sehingga beberapa kejadian masuk ke dalam etalase itu, memberikan informasi kepadamu bahwa ada hal-hal kecil yang membuatku gemas saat mengingatnya.

Aku sering gemas saat kamu tak menghabiskan makananmu. Alasan-alasan yang sering muncul dari bibirmu sambil mengunyah sisa-sisa makanan saat kutanyakan membuatku ingin menawarkan diri untuk menghabiskan. Bukan berarti aku memang ingin menghabiskan, hanya saja aku tak tahan dengan makanan yang dibuat susah payah oleh pelaku peracik bahan makanan hanya berakhir di tong sampah, lalu membusuk di dalam. Betapa tragis nasib makanan yang berada di tanganmu. Aku tak ingin mereka menangis dan menyesali nasib, begitulah caraku menyelamatkan mereka. Aku tak ingin kamu disalahkan.

Aku khawatir terhadap kesehatanmu yang terkadang sering menganggumu. Batuk ringan atau sakit kepala sebelah saat kamu merasa kelelahan. Sudahkah kamu konsultasikan? Aku tahu kamu pun tak mau merasakan itu, namun bukankah tidak salah jika aku mengawatirkanmu?

Kerah kemeja bajumu yang kadang tak rapi dan menggelantung seadanya, membuatku ingin menawarkan tangan untuk membenahinya. Tentu saja hal ini tidak dapat kulakukan. Saat ini aku bukan siapa. 

Aku sangat senang ketika kamu bercerita, aku seringkali ingin mendengarkan. Entah perasaanku saja, namun aku terlihat seperti satu-satunya pendengar setiamu begitu saat kamu bercerita, meskipun aku tidak tahu apakah kamu begitu hanya terhadapku atau tidak.

Seringkali aku menemukan remahan senyumanmu yang menggembirakan. Entah saat kamu bercerita padaku atau dengan seorang teman. Melihat bibirmu yang membentuk pola senyum yang meremang, hal itulah yang paling membuatku senang. Entah aku yang terlalu percaya diri atau apa, namun senyuman itu sesaat hanya untukku saja. Kurasakan itu. Ah, mungkin aku saja yang memang percaya diri. Namun tak apa jika dugaanku salah. Bukankah jatuh cinta sudah pasti memiliki perasaan menduga-duga? Perasaan yang sebenarnya tidak membuat si pelaku jatuh cinta nyaman, namun entah mengapa perasaan menduga-duga seringkali digunakan sebagai media hiburan.

Sudah pasti, cinta memang sering membuat kita tak melihat logika. Menganggap logika adalah fana dan kita kaburkan itu dengan membuang jauh-jauh logika ke tengah hutan Alaska, membiarkannya berlarut-larut dalam sana, entah dimakan rusa atau menjadi sarang ular yang berbisa. Mungkin dibiarkan sebagai penyubur ekosistem Alaska adalah pilihan yang tidak biasa menjadi luar biasa. Cinta memang sejahat itu, dengan cinta pula membuat manusia menjadi sangat lihai dalam mengada-ngada rasa dan memanipulasi fakta.

Dalam menyukaimu pula, selain aku lihai menjadi pengada-ngada rasa dan pemanipulasi fakta, aku juga menjadi manusia yang lebih sering melihat pertanda. Seringkali aku mengecek melihat beberapa kantin atau warung makan kesukaanmu yang kuharap aku akan menemuimu disitu. Berpura-pura tak sengaja padahal memang sudah direncanakan untuk mencarimu adalah keahlianku. Yang nantinya saat bertemu denganmu di salah satu warung itu, aku menyapamu, duduk di sampingmu atau di tempat favoritku yakni di depan menghadapmu, bercerita lagi dan melihat senyuman indahmu lagi. 

Barangkali kamu tak menyadari aku melakukan itu, secara susah payah aku melakukan untuk demi menemuimu. Sudahlah, mungkin memang seharusnya kamu tak menyadari betapa sering aku memperhatikanmu, biarkan saja kamu berjalan apa adanya seperti kehidupanmu sebelumnya. Itu saja sudah membuatku bersyukur senang.

Mungkin memang aku dapat mengakui bahwa aku memang jatuh cinta, begitupun kata pintu, lemari, dan langit-langit kamarku. Aku memang jatuh cinta padamu yang seringkali kuharapkan bertemu denganmu di mimpiku meski aku selalu tak dapatkan juga mimpi itu.

Kamu yang kini seperti sungai dari hulu bukit yang mengalir, membawa beberapa spesies pengisi hidup sekaligus beberapa batu kecil dan besar yang terus harus diterjang, sesekali sungai itu belok arah, mengikuti arah turun tanah. Seringkali pula sungai itu menjumpai beberapa orang yang ingin mengambil beberapa daya dari dalam, namun seringkali juga kamu jumpai beberapa orang yang membuang kotoran dan hal tak berguna untukmu meskipun setelahnya ada beberapa orang yang peduli terhadapmu untuk membersihkannya dimana aku salah satu dari orang peduli itu. Selepas itu, kamu akan membentuk beberapa cabang sungai, di saat itulah di setiap ujung cabang, hanya kamu yang menjadi muara penantian panjang.

Dan singkatnya, perkenalan itu awal dariku jatuh lebih dalam.




Komentar