Dua Suku Kata

 


Apakah kamu, yang sedang membaca suatu kisah mengenai kejadian jatuh cinta tak kunjung henti sudah tahu mengenai hal di dunia ini yang hanya dikelola oleh empat huruf dengan kesan yang biasa saja namun dapat mematahkan logika?

Suatu rasa. Pengelolaan oleh empat huruf menjadikanku tak pernah memilih untuk siapa hati diambil alih dan untuk siapa logika diperankan. 

Bukanlah salah empat huruf tersebut apabila hati mengundang rindu setengah mati. 

Bukanlah salah empat huruf pula apabila hati memiliki pesona yang kelak menjadi alasan ada rasa yang tersakiti olehnya. 

Tuhan sungguh Maha Asyik. Seperti buku karya Sujiwo Tejo itu yang mengungkapkan Tuhan sungguh asyik memberi panggung untuk para makhluknya. Kita meramaikan panggung, malaikat sebagai penilai dari lakon kita, sedangkan setan hanyalah sebagai sosok yang menemani kita dari lahir menjadi hidup dan hidup menjadi mati. Cerita kita telah usai, para malaikat merangkum nilainya. Begitulah cara Tuhan mengasyikan panggung para hambaNya. 

Begitupula Tuhan menciptakan cinta dengan segala keasyikannya. Kita para hambaNya hanya melakonkan di panggung sesuai kadar perasaan kita dan asal tak menyeleweng dari aturan naskah. Jika keluar naskah, tentu saja dicatat buruk oleh malaikat.

Cinta yang dibuatnya mampu membuat mata menjadi buta arah, bisa menuju siapapun, namun juga dapat terjatuh dimanapun. Kita sebagai pemeran panggung hanya dapat mengambil sikap atas teori cinta oleh Tuhan Sang Maha Asyik.

Begitulah bagaimana cinta bermain.

Sebenarnya, aku pun ketakutan akan sesuatu yang membuatku jatuh pada hati yang salah.  

Sheeva, kuharap rasaku pun ingin berbalas, bukan terus menerus terbatas. Apakah aku harus menaruh dan mengambil pilihan yang berada dalam dua pilihan untuk memohon padamu? 

Memohon untuk berbalas.

Atau memohon untuk memulangkan hatiku yang telah kutitipkan padamu. Bersediakah hatiku untuk berpulang kembali?

Ah, bukan berarti aku menyerah untuk mendapatkanmu.

Surat ini memang kubuat bukan sebagai surat pernyataan tanda bahwa aku menyerah. 

Meskipun telah kucoba membuat suatu kapal dan labuhanku untuk menyelamatkan diri dari samudera mengerikanmu itu yang bisa saja terjadi bencana puting beliung di dasar laut, namun setiap ombak dan terumbu karangmu merangkul setiap sisi dari rasa dan hatiku untuk tetap tinggal disisimu. 

Bagaimana bisa nahkoda sepertiku hanya berpangku di samudera dengan posisi serba salah? Jika aku menjadikanmu dari samudera menjadi lautan, lalu menjadi pantai, kubuat lagi menjadi daratan, dan kubentuk lagi menjadi sebuah rumah, dimana tempatku tinggal dan merasa nyaman untuk menikmati setiap sisa usia, apakah aku bisa memaksamu untuk menjadi rumah di setiap kepulanganku? Bahkan akupun tak dapat menjaminkanmu dapat membahagiakan dengan berlipat kali dari apa yang orang lain beri.

Bukanku tak ingin, hanya saja aku tak tahu bagaimana standarmu terhadap cinta orang lain.

Aku hanya tak ingin kamu menjadi samudera bagi para tsunami. Seperti aku tak ingin kamu berhasil dirangkul dan dihangatkan oleh orang yang salah, hanya memanfaatkanmu, atau hanya penasaran padamu. Tapi sialnya, kamu menaruh hati dan pasrah, lalu dalam diam pula kamu turut mencintainya.

Meskipun begitu juga, disisi lain jiwa nahkodaku yang berusaha menaklukan samudera, aku akan menjadi nahkoda yang sangat buruk akibat menaruh rasa yang sangat bersalah karena memaksamu untuk mencintaiku.

Seperti tulisanku yang telah lalu, banyak sekali serangan para pasukan bersenjata menembakkan peluru-peluru pertanyaan tanpa komando menerjang isi kepalaku tanpa jawaban yang bahkan semesta pun tidak tahu. Yang aku tahu, dan semesta tahu hanyalah realita bahwa aku mencintaimu, namun dengan realita juga itu rumit menggangguku. Bagaimana tak terganggu apabila setiap hari harus menenangkan rindu?

Iya. Setiap hari kutenangkan rindu yang mengambang ke udara menjadi titik-titik uap air. Bergerak kesana-kemari terbawa angin, mungkin titik-titik uap air itu menyentuh pipimu saat kamu berjalan dan membeli satu mangkuk soto ayam di sebelah tempat tinggalmu, mungkin titik-titik uap air itu menempel di telapak tanganmu saat kamu mengambil air mineral dingin yang terletak di showcase toko, atau mungkin saja titik-titik uap air itu menempel di tembok-tembok kamarmu dan kamu yang sedang menonton Top Trending Youtube sambil menggunakan earphone warna putih dan senyum-senyum sendiri tak melihat itu. Bisa saja, disetiap sudut yang terjadi kelembaban, ada sebagian titik-titik rinduku yang menguap dan hinggap disitu. Sebagian lagi terbawa ke atas langit, mengumpul dan berdiskusi bersama-sama dengan para titik uap air yang lain, bermusyawarah dan sepakat membentuk komunitas. Akhirnya, terbentuklah awan yang mendung.

Awan yang mendung ini sangat gelap, banyak sekali titik uap air yang saling menyerukan suara dan intoleran dengan para komunitas lain, sering juga terjadi bentrok dan perkelahian hingga kedua komunitas awan mendung hancur bersamaan. Titik-titik uap air berjatuhan membentuk air hujan, turun ke bawah. Aku menatap langit yang sedang hujan, tak menutup kemungkinan aku sedang kehujanan oleh titik uap air rinduku sendiri.

Seperti padamu, seberapa besar dan kuatku menenangkan rindu, pada akhirnya rindu itu kembali menghujaniku.

Berkali-kali ku merasa jatuh lalu mencoba berdiri dan bertanya bagaimana untuk tidak terabaikan.

Bahkan untuk saat ini, saat cuaca sedang mendung dan aku menuliskan tentang rasa sambil menghirup uap dari cangkir isi coklat dan beberapa kue manis seperti lengkungan bibirmu, aku tak tahu apa yang aku inginkan.

Semuanya. Tentang aku, tentangmu, tentang rasa, dan tentang bagaimana ada. Seperti halnya kitab baratayuda yang bahkan sangat sulit ku baca dan ku eja.

Mengenai secangkir rasa, ku uapkan embun wanginya menuju padamu. Memang sengaja kubuat hangat karena saat ini tubuhku sedang hangat-hangatnya. 

Beserta tak lupa kue coklat berisi topping moka kesukaanku, apakah kamu ingin mencicipinya ketika aku membuatkannya padamu?

Entah apa aku bisa menjadikanmu seseorang untuk aku miliki. Kamu yang membuatku jatuh hati, kamu juga yang membuatku tak percaya diri hingga tak sadar diri.

Bagaimana bisa kutahan untuk menunggu lama kamu menoleh padaku?

Ingatlah, suatu hari nanti saat kamu melihat bintang di malam hari, disudut persimpangan di bawah cahaya kuning lampu jalan hasil biaya dari pajak itu mempertemukan menjadi kita, disaat itu pula kamu bisa melihatku yang sedang berkeringat karena harus terburu-buru untuk menjemputmu menggunakan roda dua. Tak perlu kamu tanyakan seberapa lama dan sebanyak apa waktu aku menunggumu, tak dapat kamu bandingan dengan daya tunggumu dibawah cahaya kuning itu, kamu tak akan mendapatkan jawaban.

Tanyakan saja kabarku saat kamu berada di jalan, akupun akan mengatakan baik-baik saja. Tanyakan saja, kapanpun, dimanapun, dan meskipun.

Meskipun, kamu sedang tak bersamaku.

Komentar